Senin, 21 November 2011

Peran dan fungsi Majelis Pertimbangan Etik Profesi

Peran dan fungsi Majelis Pertimbangan Etika Profesi adalah Majelis Pembinaan dan Pengawasan Etik Pelayanan Medis (MP2EPM), yang meliputi :
1.      Kepmenkes RI no. 554/Menkes/Per XII/1982.
Memberikan pertimbangan, pembinaan dan melaksanakan pengawasan terhadap semua profesi tenaga kesehatan dan sarana pelayanan medis.
2.      Peraturan Pemerintah Ni. 1 Tahun 1988 BabV Pasal 11.
Pembinaan dan pengawasan terhadap dokter, dokter gigi dan tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya dilakukan oleh Menteri Kesehatan atau Pejabat yang ditujukan.
3.      Surat Keputusan Menteri Kesehatan No, 640/Menkes/Per/X 1991, Tetang Pembentukan MP2EPM.
Dasar Majelus Disiplin Tenaga kesehatan (MDTK), adalah sebagai berikut :
1. Pasal 4 ayat 1 UUD 1945
2. Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
3. Keputusan Presiden Tahun1995 tentang pembentukan MDTK
Tugas Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) adalah meneliti dan menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan.
a. Tugas dan Wewenang MP2EPM Wilayah Pusat
b. Tugas dan Wewenang MP2EPM Wilayah Propinsi
c. Majelis Etika Profesi Bidan
d. Badan Konsil Kebidanan



PELAPORAN DAN REGISTRASI

PELAPORAN
  1. PIMPINAN PENYELENGGARA PENDIDIKAN TENAGA
KESEHATAN WAJIB MENYAMPAIKAN LAPORAN SECARA TERTULIS KEPADA KEPALA DINAS KESEHATAN PROPINSI,
MELIPUTI:
    -   NAMA
    -   JENIS KELAMIN
    -   TEMPAT DAN TANGGAL LAHIR
    -   TAHUN  LULUSAN
    -   ALAMAT
    -   KETERANGAN
2. TENAGA KESEHATAN YANG BERSANGKUTAN MENGAJUKAN PERMOHONAN DAN MENGIRIMKAN KELENGKAPAN REGISTRASI KEPADA KADINKES PROPINSI LULUSAN.
REGISTRASI
n  REGISTRASI MERUPAKAN PENGAKUAN KOMPETENSI SEBAGAI TENAGA KESEHATAN 
n  UJI KOMPETENSI DILAKSANAKAN OLEH MAJELIS TENAGA KESEHATAN PROPINSI ( MTKP ) YANG DITETAPKAN OLEH GUBERNUR.
n  OLEH KARENA DI JAWA TIMUR BELUM TERBENTUK MTKP, DINAS KESEHATAN PROPINSI BERSAMA-SAMA ORGANISASI PROFESI DAN FORUM KOMUNIKASI PENDIDIKAN KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN ( FKPKK ) MELAKSANAKAN UJI KEMAMPUAN PENGETAHUAN BAGI TENAGA KESEHATAN ( PERAWAT & BIDAN ).
n  PERSYARATAN UJI KEMAMPUAN PENGETAHUAN :
   1. FOTOKOPI IJAZAH DILEGALISIR
   2. PASFOTO 4 X 6 = 2 LB
n  PERSYARATAN REGISTRASI BARU :
   1. FOTOKOPI IJAZAH DILEGALISIR
   2. FOTOKOPI LAFAL SUMPAH
   3. SURAT KETERANGAN SEHAT
   4. LULUS UJI KEMAMPUAN
   5. PASFOTO 3 X 4 = 2 LB, 4 X 6 = 2 LB 
n  PERSYARATAN REGISTRASI ULANG :
   1. FOTOKOPI IJAZAH DILEGALISIR
   2. SURAT KETERANGAN SEHAT
   3. FOTOKOPI SIP / SIB / SP LAMA
   4. PASFOTO 3 X 4 = 2 LB, 4 X 6 = 2 LB
n  UJI KEMAMPUAN MASIH DIBERLAKUKAN BAGI TENAGA PERAWAT DAN BIDAN LULUSAN SPK, P2B DAN DIII KEP./ KEB. YANG BELUM MEMPUNYAI SIP/SIB DAN BELUM DIBERLAKUKAN BAGI LULUSAN SI KEPERW / KEBIDANAN

PENGERTIAN BIDAN


PENGERTIAN BIDAN
Bidan adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan
bidan yang telah diakui oleh Negara serta memperoleh kualifikasi dan
memberi izin untuk menjalankan praktek kebidanan di negeri ini. Dia
harus mampu memberikan supervisi, asuhan dan memberikan nasehat
yang dibutuhkan kepada perempuan selama masa hamil, persalinan
dan masa pasca persalinan, memimpin persalinan atas tanggung
jawabnya sendiri serta asuhan pada bayi baru lahir dan anak. Asuhan
ini termasuk tindakan preventif, pendeteksian kondisi abnormal pada
ibu dan bayi, dan mengupayakan bantuan medis serta melakukan
tindakan pertolongan gawat darurat pada saat tidak hadirnya tenaga
medik lainnya. Dia mempunyai tugas penting dalam konsultasi dan
pendidikan kesehatan, tidak hanya untuk wanita tersebut, tetapi juga
termasuk keluarga dan komunitasnya. Pekerjaan itu termasuk
pendidikan antenatal, dan persiapan untuk menjadi orang ttua, dan
asuhan anak. Dia bisa berpraktek di rumah sakit, klinik, unit
kesehatan, rumah perawatan atau tempat-tempat pelayanan lainnya.
Bidan sebagai tenaga pemberian pelayanan kebidanan,
pelayanan KB dan pelayanan kesehatan masyarakat harus menyiapkan
diri untuk mengantisipasi perubahan kebutuhan masyarakat akan
pelayanan kebidanan. Di bawah ini di bahas tentang pelayanan
kebidanan. Keikutsertaan suami pasien dalam kelahiran, dan menjaga
mutu pelayanan kebidanan.

Kebidanan adalah profesi yang peduli terhadap peningkatan
kesehatan perempuan, berfokus pada kesehatan reproduksi dan
pemahaman sepanjang siklus kehidupan perempuan atau dengan
pendekatan yang bersifat holistik (Sofyan, 2001).





Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan

Tersedianya lapangan/kesempatan kerja baru untuk mengatasi peningkatan penawaran tenaga kerja merupakan salah satu target yang harus dicapai dalam pembangunan ekonomi daerah. Upaya tersebut dapat diwujudkan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi khususnya investasi langsung (direct investment) pada sektor-sektor yang bersifat padat karya, seperti konstruksi, infrastruktur maupun industri pengolahan. Sementara pada sektor jasa, misalnya melalui perdagangan maupun pariwisata. Tenaga kerja adalah orang yang siap masuk dalam pasar kerja sesuai dengan upah yang ditawarkan oleh penyedia pekerjaan. Jumlah tenaga kerja dihitung dari penduduk usia produktif (umur 15 thn–65 thn) yang masuk kategori angkatan kerja (labour force).

Kondisi di negara berkembang pada umumnya memiliki tingkat pengangguran yang jauh lebih tinggi dari angka resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini terjadi karena ukuran sektor informal masih cukup besar sebagai salah satu lapangan nafkah bagi tenaga kerja tidak terdidik. Sektor informal tersebut dianggap sebagai katup pengaman bagi pengangguran.

Angka resmi tingkat pengangguran umumnya menggunakan indikator pengangguran terbuka, yaitu jumlah angkatan kerja yang secara sungguh-sungguh tidak bekerja sama sekali dan sedang mencari kerja pada saat survei dilakukan. Sementara yang setengah pengangguran dan penganggur terselubung tidak dihitung dalam angka pengangguran terbuka, karena mereka masih menggunakan waktu produktifnya selama seminggu untuk bekerja meskipun tidak sampai 35 jam penuh.

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2000, penduduk berumur 15 tahun ke atas yang termasuk angkatan kerja adalah 264.802 orang (BPS, 2005) atau 64,48 % dari jumlah penduduk sebesar 410.682 jiwa. Dilihat dari lokasi, sebagian besar tinggal di desa yaitu 211.681 jiwa, sedangkan di kota sebanyak 53.121 jiwa. Dari jumlah angkatan kerja tersebut yang bekerja adalah sebesar 89,01%, sedangkan sisanya 10,99% tidak bekerja atau menganggur. Dilihat aspek gender, sebagian besar yang menganggur adalah wanita (17,42%), sedangkan yang laki-laki sekitar 5,32%.

Apabila dilihat dari jumlah pencari kerja yang tercatat pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bima (2006) sebagian besar berpendidikan SMU keatas atau perguruan tinggi, yaitu sekitar 5.217 orang yang terdiri dari diploma III dan sarjana (S1). Sempitnya lapangan kerja di Kabupaten Bima tidak terlepas dari masih rendahnya potensi ekonomi yang dimanfaatkan terutama pada sektor pertanian. Adapun penyerapan tenaga kerja yang baru lebih banyak mengandalkan sektor jasa pemerintahan melalui kebijakan pemerintah pusat mengangkat tenaga honor daerah menjadi PNS dimana selama 2005 s/d 2009 diperkirakan mencapai lebih dari 5.000 orang.
 
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam analisis ketenagakerjaan adalah berkaitan dengan rasio beban tanggungan atau burden of dependency ratio. Yang dimaksud dengan dependency ratio adalah beban yang ditanggung oleh penduduk produktif terhadap penduduk tidak produktif. Oleh karena itu, semakin banyak penduduk produktif yang tidak bekerja, maka dengan sendirinya akan meningkatkan beban tanggungan. Kondisi ini juga banyak ditemukan di Kabupaten Bima di mana masyarakatnya tinggal di wilayah pedesaan yang mana laki-laki muda banyak tidak bekerja demikian pula dengan wanitanya.
 
Masalah–masalah ketenagakerjaan di Kabupaten Bima yang paling menonjol antara lain :
·         Rendahnya minat tenaga kerja untuk menciptakan lapangan kerja baru melalui kegiatan wirausaha, terutama tamatan dari sekolah kejuruan maupun SMA.
·         Kurangnya inovasi di bidang pertanian, industri dan sektor jasa dalam meningkatkan investasi padat tenaga kerja.
·         Tenaga kerja berpendidikan sarjana umumnya bekerja sebagai setengah penganggur karena memasuki bidang yang tidak sesuai dengan keahliannya dan bekerja kurang dari 36 jam per minggu.
·         Minimnya investasi dan pabrik yang dapat menampung tenaga kerja skala besar.
·         Tidak seimbangnya antara permintaan dan penawaran tenaga kerja, yang disebabkan oleh kualifikasi sarjana di Kabupaten Bima didominasi oleh ilmu–ilmu sosial dibandingkan ilmu–ilmu eksakta yang lebih bersifat aplikatif.
·         Hambatan budaya yang lebih memandang PNS sebagai pekerjaan prestisius, sehingga mematikan kreatifitas untuk bekerja di luar sektor jasa pemerintahan.


Dari kajian tekstual yang dilakukan KPPOD (2006) , dalam aspek kebijakan dan regulasi (Perda/SK Kepala Daerah), peta persoalan umum yang menandai distorsi kebijakan ketenagakerjaan di sejumlah daerah dalam masa pelaksanaan otonomi daerah dewasa ini adalah :
 
Pertama, pelanggaran dalam hal perijinan dan pungutan terkait penggunaan tenaga kerja asing. Padahal, Perijinan (menurut Pasal 42 UU No.13 Tahun 2003) maupun pungutan (menurut Pasal 3 PP No.92 Tahun 2002) yang terkait dengan penggunaan TKA berada di pusat.
 
Kedua, pungutan yang tidak proporsional dan amat lemah dalam acuan konsiderans.
 
Ketiga, diskriminasi gender. Di sejumlah daerah ditemukan cukup banyak perda yang mengatur jam kerja lembur atau ijin kerja lembur malam bagi wanita dan mengenakan pungutan (retribusi) tertentu atasnya.
Keempat, proteksionisme (perlindungan berlebihan) bagi tenaga kerja lokal. Tidak hanya terjadi dalam sektor pemerintahan, dimana muncul tuntutan preferensi berlebihan bagi putera daerah untuk duduk dalam jabatan-jabatan strategis (politik dan birokrasi), gejala serupa juga terjadi dalam dunia swasta (bahkan tidak sekedar sebagai tuntutan pemerintah) terkait pemberian kesempatan kerja, dimana perusahaan wajib memberikan jatah, yang bahkan dengan patokan kuota tertentu bagi putera daerah untuk sesuatu pekerjaan dalam perusahaan tersebut.
 
Begitu pentingnya posisi pengaruh faktor Ketenagakerjaan di satu sisi dan banyaknya persoalan pada sisi lain menyebabkan efek serius bagi kelancaran berusaha di daerah. Semua itu menambah biaya tambahan (additional cost) dalam ongkos berbisnis (cost of doing business), baik biaya waktu (banyaknya waktu untuk bernegosiasi dengan pihak buruh dan pemda) maupun biaya material karena berbagai pungutan legal dan ilegal yang ada. Kekakuan dalam kebijakan ketenagakerjaan kita maupun iklim kebijakan makro yang terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah merupakan peta jalan kemana arah menelusuri persoalan.

Berdasarkan beberapa kasus daerah lain di atas, tampaknya persoalan kebijakan ketenagakerjaan di Kabupaten Bima belum begitu kompleks sebagaimana dialami daerah yang telah maju sektor industri dan jasanya. Bahkan, penanganan ketenagakerjaan di Kabupaten Bima dari aspek upah saja belum dapat ditangani dengan baik, belum masalah-masalah seperti keselamatan kerja dan perlindungan tenaga kerja lainnya sesuai dengan amanat perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.